Kamis, 28 Agustus 2008

Kids, Enjoy Your Childhood...

Dunia ceria anak-anak memang terlihat sangat menggemaskan ketika tampil di layar kaca. Mereka bergoyang ke sana ke mari seperti tanpa beban. Anak-anak memang seperti tabula rasa. Putih bersih dan belum terwarnai. Pemikirannya polos dan senyumnya pun tulus.

Kepolosan itulah yang memudahkan bagi orang tua untuk memasukkan berbagai macam nilai pada anak. Akan menjadi apakah seroang anak, sangat tergantung dengan pendidikan dasar orang tuanya. Kewajiban pendidikan oleh orang tua itulah yang terkadang justru memenjarakan anak-anak. Bukan memberikan pencerahan bagi kehidupan anak.

Saat ini, sudah sangat banyak contoh yang menunjukkan bahwa sebenarnya orang tua pun tak paham akan pendidikan anak. Salah satunya adalah acara idola anak di sebuah stasiun televisi. Awal kali melihat acara itu, saya geleng-geleng kepala dibuatnya. Bagaimana mungkin anak-anak sepolos mereka didandani bak model berumur tujuh belas tahun ke atas? Dan yang membuat saya lebih heran adalah bagaimana mungkin orang tua justru bangga dengan hal itu. lagu-lagu yang mereka nyanyikan pun jauh dari lagu anak-anak.

Kompetisi semacam itu jelas-jelas sangat memenjarakan anak-anak. Mereka yang semestinya disibukkan dengan jadwal belajar dan bermain, harus ‘rela’ disibukkan menggalang sms. Pada akhirnya anak-anak hanya menjadi alat bagi pengusaha media untuk mendulang untung. Tampilan yang menayangkan kegembiraan anak-anak dalam kompetisi tersebut sebenarnya hanyalah akal-akalan media agar media tak terlihat kapitalistis dalam acaranya.

Saya yakin, pendapat ini sudah sangat jamak dikemukakan. Tapi mengapakah tak satu pun instansi yang berwenang menuntut media? Bahkan komnas anak tak sedikit pun bicara tentang hal ini. orang secerdas Kak Seto pastilah lebih paham dengan masalah eksploitasi anak. Tapi mengapa eksploitasi yang jelas-jelas telah dilakukan oleh media tak sedikit pun disinggung oleh Kak Seto dkk.

Media memang pintar menyembunyikan kelicikannya di balik acara-acara yang ia tayangkan. Mereka menjelma seolah-olah telah menjadi pahlawan bagi anak-anak terlantar di jalanan. Padahal yang mereka lakukan sebenarnya hanya memanfaatkan kemiskinan sebagai alat penghasil uang bagi para pemilik modal.

Kengerian macam inilah yang telah mengintai anak-anak kita. Mereka telah dicekoki oleh media dengan acara-acara sampah. Bahkan, anak-anak yang telah diorbitkan oleh media pun dibentuk menjadi pemain dalam acara-acara sampah mereka. Otomatis, masyarakat pun tak bisa menilai manakah acara sampah dan manakah acara yang benar-benar sehat. Lha wong semua pemain di acara-acara itu juga anak-anak.

Jadi, jika anda memang benar-benar menyayangi anak anda, jangan pernah percaya pada media. Percayalah pada naluri anda sebagai orang tua! Saya percaya, setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya. Orang tua pasti tak ingin anaknya setiap hari terserang stres karena jadwal syuting yang padat. Orang tua mana pun juga sebenarnnya tak ingin anaknya diuber-uber penggemar sewaktu di jalan dan dicubitin pipinya waktu jalan di mal. Kita, sebagai orang tua, pasti ingin anak kita hidup tenang, bermain dengan tenang dan tanpa beban.

Sebagai orang tua, musti dipahami bahwa anak bukan mesin pencetak uang yang bisa anda paksa untuk lembur berhari-hari. Mereka adalah bibit-bibit bangsa yang kelak akan menyelamatkan bumi pertiwi ini. jika mereka sudah linglung dalam menghadapi media, maka bisa dibayangkan bagaimana mereka akan menghadapi tantangan global?

Tidak ada komentar: