Selasa, 30 Desember 2008

BERAWAL DARI SEBUAH KECINTAAN

Satu langkah maju telah ditempuh oleh kota bengawan ini. Di saat krisis dunia makin mencekam dan travel warning untuk berkunjung ke Indonesia makin menggema, Solo mencoba terus mempertahankan eksistensinya sebagai kota budaya. satu gebrakan berani telah diambil oleh sang walikota dengan mengadakan WHCCE (World Heritage Cities Conference and Expo).

Akibat momentum tersebut, demam budaya pun menjangkiti warga solo. Terutama remaja-remaja yang terlibat sebagai Liaison Officer WHCCE. Tanpa disengaja, WHCCE telah memberikan efek domino yang teramat positig. Remaja-remaja mantan LO WHCCE tersebut memutuskan untuk membentuk sebuah organisasi yang bernama Solo Youth Heritage (SYH).

Kini, nama SYH pelan-pelan mulai menggema di kalangan budawan Solo. Tepuk tangan bergemuruh saat salah seorang mantan LO menyebutkan niatan positif para remaja tersebut disebuah acara makan malam bersama sang walikota. Tanpa terasa puluhan harapan dan tanggung jawab pun mulai bertumpuk di pundak para remaja-remaja cinta budaya tersebut.

Harapan walikota pun makin membumbung. Pasalnya, saat ini pemerintah daerah tengah gencar-gencarnya mengampanyekan cinta budaya. seribu satu cara ditempuhnya agar cagar budaya di kota bengawan ini tetap lestari. Keberadaan SYH mustinya menjadi angin segar bagi pemerintah daerah. Paling tidak, kampanye cinta budaya itu telah mengena pada beberapa remaja, yang selama ini notabene dianggap sebagai generasi MTV. SYH diharapkan bisa mentransferkan ilmu-ilmu budayanya pada masyarakat luas.

Fungsi SYH bagi budaya Solo inilah yang kelak menjadi titik sentral ruh organisasi ini. SYH tak hanya menjadi ajang berkumpul para LO WHCCE untuk bernostalgia saja. Tapi juga sebagai sentral ide-ide brilian bagi kelestarian budaya jawa. Fungsi inilah yang harus digagas secara serius oleh para pegiatnya. Setidaknya, SYH tak ketinggalan dengan organisasi-organisasi lain yang bergerak di bidang yang sama. Sungguh disayangkan jika kelak, ide-ide brilian SYH makin menurun dan bahkan terkubur sama sekali.

Permasalahan benteng vastenburg, optimalisasi pertunjukan wayang di gedung wayang orang, dan pendidikan budaya pada masyarakat, adalah sebagian kecil masalah budaya yang sudah antri menuntut perhatian para pegiat SYH. Namun, pertanyaan terbesar adalah: sudah seberapa jauhkan SYH telah melangkah? Jangan-jangan mimpi-mimpi besar itu hanyalah mimpi yang cukup suaranya saja yang bergema keras.

Dalam istilah jawa, ada ungkapan: obong-obong blarak, berarti: segala sesuatu hanya ramai di awal, tapi pada akhirnya menjadi tak terlihat cahanyanya. Itulah yang musti diwaspadai oleh para remaja-remaja cinta budaya ini. Jangan sampai semangat yang telah menggaung itu hilang di tengah jalan. Cahaya yang sempat berpijar itu meredup setelah beberapa saat.

Kini, banyak orang telah menunggu-nunggu kelahiran bayi bernama SYH itu. Sangat disayangkan jika nanti ternyata bayi itu lahir dalam keadaan mati. Organisasi yang sudah digadang-gadang menjadi pelestari budaya itu harus tetap lahir dalam keadaan sehat. Mereka harus hadir dalam bentuk yang utuh. Bukan hanya dalam bentuk simbol-simbol seperti pakaian adat, atau pun artefak-artefak jawa yang lain. Melainkan, SYH harus hadir sebagai organisasi yang tahu betul akan sejarah budayanya, terlibat dalam pemberdayaan kehidupan sosial budaya masyarakat, dan jika perlu, ikut terlibat dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan budaya.

Jika memang SYH mampu ikut terlibat dalam ranah pembuatan kebijakan, maka inilah langkah paling excelent yang mampu diraih oleh para remaja itu. Pada titik tersebut, barulah SYH benar-benar mampu menjaga amanat yang telah diembankan pada bahunya.

Adakah SYH mampu melakukannya? Mari kita lihat bersama saja...

Selasa, 16 Desember 2008

I See

hahaha.... you get that rite, mr Kris (unfortunately i cant find your blog). kalo dipikir-pikir bener juga yg dibilang si tuan kris itu. bahkan lagu-lagu Papa T Bob pun gak mendidik. so, mungkin harus ada kreator-kreator baru yang peduli dengan dunia anak. dengan begitu, anak-anak pun bisa tumbuh sehat sesuai umurnya... thanks for your comment, Mr. Kris...
oya, thanx juga buat ardi nirmala and palupi for your comments. it means a lot...

Rabu, 29 Oktober 2008

Mr.Insaf: The Family Man


And the last Russian man I will tell is: Mr. Insaf! His full name is: Galiev Insaf. I’ll call him as a family man. Believe me, he is a truly gentleman. He is the one who speaks in English. He is very helpful. He treats me very well. And he has very good smile. Everytime he see me, he always say: Hello tifa, how are you? (I miss that greeting).

In 31 years old, he becomes a head of the department for the International and Intermunicipal Cooperation. Smart guy, isn’t he??

Mr. Insaf told me about Kremlin in Kazan. And he promised me to send a photo of Kazan. Because of his story, I dream about it. I really really want to go there. (I must go there some day). Unfortunately, I don’t have time to tell about solo. We are very bussy and he is too tired to have a serious conversation with me.

One day, if I have a scholarship in Russia, I will go to Kazan. I will go to Bolgar. I want to pray in Bolgar’s Mosque. I believe: if there is a will, there is a way. I want to see snow in Kazan and Bolgar. And I want to feel their hospitality.

Last but not least: I miss them all. I want to say thank you for everything. See you in Russia! Amin.

NEW EXPERIENCE, NEW FRIENDS


Finally! 28 October is coming! WHC program is over! I’m happy I can do my job well. Otherwise, there is sadness when I say good bye to my guests. I almost cried. I love them all. Mr. Rafael and Mr. Yurij are nice guys. They accept me very well. They trust me as their assistant is more than enough for me. They make me feel honored.

Mr. Rafael kissed my hand when I gave his keris. Because he thought that he would lost that stuffs. From that moment I really really realize that hospitality is everything. That’s why I feel honored. His acceptance made my job became easier. Unfortunately I can not ask him about Bolgar. He can not speak in English. He just speak in Russian. (now, I have difficulties if I want to send him a letter. I’m afraid he can not understand what I’m talking about in my letter).

And, here come Mr. Yurij. I’ll tell you my story about Mr. Yurij. First time I saw him, he was very cool. He didn’t give me smile. At all. I wonder, how come this cute guy never gives smile to young beautiful lady. (hahahahaha). Actually, its not my business. But, I feel uncomfortable. By respecting Mr. Yurij, so I can respect Mr. Rafael. Besides that, Mr. Yurij is also my guest. So, I had to make them comfortable as good as I can. Time by time, he smiles at me. Thank god! Believe me! Making somebody smile at you isn’t easy thing. You have to work hard for it.

I know they surprised when I talk in Russian. This is my first sentence: No afto Buse, means: go back to the bus. They laugh!!! And then they call me: Russian woman (they also call me: good woman). Hahahaha. I have one lesson from that moment: language is everything. Besides smile, you have to show your willingness to understanding somebody else. This is part of hospitality! Language is a part of somebody’s soul. Language is an identity. By talking in their language, you get half of their soul. Even just a little bit.

Mr. Rafael gave me a poster. I want to put that poster in my wall. So I can see it and wish to god that I can go over there. (but his poster is too big for my wall. So I have to think about a way to put it on).

Kamis, 28 Agustus 2008

Aku merindukanmu seperti aku merindukan gerhana

Kau paham apa itu gerhana yang muncul kapan saja, tanpa seorang pun tahu?

Anak-anak merindukannya dengan penuh penasaran

Menanti bagaimana sepotong matahari menjadi hitam bagai tertutup tatakan gelas

Kau paham bagaimana aku merindukan gerhana?

Aku rindu melihat mentari yang menghitam dan seram

Aku rindu kepekatannya. Aku rindu kegelapannya.

Begitulah aku merindukanmu

Kau paham mengapa aku rindu kepekatan dan kegelapan?

Dari titik hitam itulah aku paham, betapa suluhnya membuatku terus berjalan

Demikianlah aku merindukanmu

Aku merindukanmu seperti aku merindukan gerhana

Kau paham bukan mengapa aku merindukanmu seperti aku merindukan gerhana?

Karanganyar, 100808

Papa T Bob, we miss u

Masih ingat dengan acara tralala-trilili? Acara musik yang dibawakan oleh Agnes Monica dan Indra Bekti itu memang cocok buat anak-anak. Lagu-lagunya pun pas buat anak-anak. Sayangnya, saat ini acara serupa sudah tak ada lagi.

Lagu anak-anak bisa dibilang sangat jarang terdengar di televisi. Kalau pun ada anak-anak yang menyanyi pasti lagunya lagu orang dewasa. Rasanya lucu sekali ketika mendengar seorang anak berumur 11 tahun menyanyikan lagu “matahari”nya Agnes Monica.

Entah apa yang terjadi dengan Papa T Bob sampai-sampai lagu anak-anak sepertinya musnah dari dunia hiburan. Saya ingat betul dulu lagu-lagu Papa T Bob selalu jadi hits. Bahkan bintang-bintangnya pun jadi terkenal karena tangan dingin Papa T Bob.

Penyanyi anak-anak dengan lagu anak-anak pula mulai meredup di awal tahun 2000-an. Terakhir, penyanyi anak-anak yang saya tahu adalah Sherina. Setelah itu, dunia hiburan anak-anak seperti mati suri. Tak ada lagi yang melantunkan lagu-lagu lucu nan mendidik seperti ‘Abang Tukang Bakso’nya Melissa, Enno Lerian, ‘Diobok-Obok’nya Joshua, dkk. Kini mereka telah menjadi dewasa dan tak ada lagi yang menggantikan tempat mereka. Papa T Bob, segera menciptalah, agar anak-anak Indonesia menyanyikan lagu sesuai dengan umurnya...

Kids, Enjoy Your Childhood...

Dunia ceria anak-anak memang terlihat sangat menggemaskan ketika tampil di layar kaca. Mereka bergoyang ke sana ke mari seperti tanpa beban. Anak-anak memang seperti tabula rasa. Putih bersih dan belum terwarnai. Pemikirannya polos dan senyumnya pun tulus.

Kepolosan itulah yang memudahkan bagi orang tua untuk memasukkan berbagai macam nilai pada anak. Akan menjadi apakah seroang anak, sangat tergantung dengan pendidikan dasar orang tuanya. Kewajiban pendidikan oleh orang tua itulah yang terkadang justru memenjarakan anak-anak. Bukan memberikan pencerahan bagi kehidupan anak.

Saat ini, sudah sangat banyak contoh yang menunjukkan bahwa sebenarnya orang tua pun tak paham akan pendidikan anak. Salah satunya adalah acara idola anak di sebuah stasiun televisi. Awal kali melihat acara itu, saya geleng-geleng kepala dibuatnya. Bagaimana mungkin anak-anak sepolos mereka didandani bak model berumur tujuh belas tahun ke atas? Dan yang membuat saya lebih heran adalah bagaimana mungkin orang tua justru bangga dengan hal itu. lagu-lagu yang mereka nyanyikan pun jauh dari lagu anak-anak.

Kompetisi semacam itu jelas-jelas sangat memenjarakan anak-anak. Mereka yang semestinya disibukkan dengan jadwal belajar dan bermain, harus ‘rela’ disibukkan menggalang sms. Pada akhirnya anak-anak hanya menjadi alat bagi pengusaha media untuk mendulang untung. Tampilan yang menayangkan kegembiraan anak-anak dalam kompetisi tersebut sebenarnya hanyalah akal-akalan media agar media tak terlihat kapitalistis dalam acaranya.

Saya yakin, pendapat ini sudah sangat jamak dikemukakan. Tapi mengapakah tak satu pun instansi yang berwenang menuntut media? Bahkan komnas anak tak sedikit pun bicara tentang hal ini. orang secerdas Kak Seto pastilah lebih paham dengan masalah eksploitasi anak. Tapi mengapa eksploitasi yang jelas-jelas telah dilakukan oleh media tak sedikit pun disinggung oleh Kak Seto dkk.

Media memang pintar menyembunyikan kelicikannya di balik acara-acara yang ia tayangkan. Mereka menjelma seolah-olah telah menjadi pahlawan bagi anak-anak terlantar di jalanan. Padahal yang mereka lakukan sebenarnya hanya memanfaatkan kemiskinan sebagai alat penghasil uang bagi para pemilik modal.

Kengerian macam inilah yang telah mengintai anak-anak kita. Mereka telah dicekoki oleh media dengan acara-acara sampah. Bahkan, anak-anak yang telah diorbitkan oleh media pun dibentuk menjadi pemain dalam acara-acara sampah mereka. Otomatis, masyarakat pun tak bisa menilai manakah acara sampah dan manakah acara yang benar-benar sehat. Lha wong semua pemain di acara-acara itu juga anak-anak.

Jadi, jika anda memang benar-benar menyayangi anak anda, jangan pernah percaya pada media. Percayalah pada naluri anda sebagai orang tua! Saya percaya, setiap orang tua pasti ingin yang terbaik bagi anaknya. Orang tua pasti tak ingin anaknya setiap hari terserang stres karena jadwal syuting yang padat. Orang tua mana pun juga sebenarnnya tak ingin anaknya diuber-uber penggemar sewaktu di jalan dan dicubitin pipinya waktu jalan di mal. Kita, sebagai orang tua, pasti ingin anak kita hidup tenang, bermain dengan tenang dan tanpa beban.

Sebagai orang tua, musti dipahami bahwa anak bukan mesin pencetak uang yang bisa anda paksa untuk lembur berhari-hari. Mereka adalah bibit-bibit bangsa yang kelak akan menyelamatkan bumi pertiwi ini. jika mereka sudah linglung dalam menghadapi media, maka bisa dibayangkan bagaimana mereka akan menghadapi tantangan global?

Sabtu, 23 Agustus 2008

Kapan Negeri ini Berubah??

suatu siang saya berbincang dengan pembantu di rumah saya. kami melakukan obrolan ringan seputar pemilu. dari mulutnya yang polos dia pun bertutur tentang pilihan politiknya. awalnya ia bercerita tentang kekagumannya pada Rina Iriany, mantan bupati karanganyar. katanya, "wah, kalo orang kampung saya sih milihnya pasti bu rina, mbak! lha wong cuma bu Rina yang mau perhatian sama orang-orang miskin". usut punya usut, ternyata Bu Rina habis kasih orang-orang sembako. saya jadi maklum sama ucapan pembantu saya. lumrah saja jika ia begitu mencintai perempuan cantik itu. pendidikan politik yang teramat minim (atau mungkin justru tidak pernah mendapat pendidikn politik sama sekali), membuatnya buta dalam membedakan mana politisi yang busuk atau yang bersih. dan Rina yang pintar (jika tak ingin disebut licik), memanfaatkan kebodohan itu.
kepolosan orang-orang 'kecil' memang membuat hati terenyuh. dari fragmen itulah kita bisa melihat bahwa sebenarnya partai politik tak melakukan apa-apa kecuali menjadikan rakyat kecil sebagai alat. ya, mereka cuma jadi mesin politik yang ditekan tombol 'on'-nya saat pemilu raya tiba. mengenaskan.
sebenarnya, pernyataan di atas belum seberapa saat saya kemudian mendapati ucapan yang lebih parah lagi. pembantu saya bilang: "dulu waktu pilpres, orang-orang di desa saya juga dikasih uang trus disuruh nyoblos calon dari PDI-P". mata saya ingin sekali melotot. dalam hati saya berteriak: "APA???". tapi tentu saja, demi kesopanan, saya tak melakukannya. saya hanya menjelaskan padanya bahwa tindakan politik seperti itu sangatlah kotor.
potret ini semakin menjelaskan mengapa kehidupan perpolitikan di negara kita sangat sulit merangkak menuju arah yang lebih baik. 'sedekah' dengan cara yang kotor masih meracuni moral para politisi. dan tentu saja, itu semua demi kekuasaan. betapa saktinya kekuasaan sehingga menyihir setiap orang menjadi apa pun.
dari semua kenyataan ini, saya pun terus bertanya dalam hati: "Kapan Indonesia akan berubah menjadi lebih baik?". saya mencintai negeri ini, seperti saya mencintai darah saya. dan saya yakin, sebagian besar orang di negeri ini pun begitu. itu sebabnya kita semua merasa nelangsa dengan keadaan negeri ini..
"buah persik yang kau tanam akan tetap tumbuh menjadi pohon persik.bukan pohon apel, atau pun pohon lain. meski kau menginginkannya,"ujar guru oogway pada shifu (Kung Fu Panda the movie).
mungkin demikianlah yang disebut takdir. meski pun saya juga buta masalah takdir. film kung fu panda membuat kita belajar bahwa tersugesti oleh sebuah ramalan terkadang ada baiknya. dari film itu saya sempat berpikir, apaka memang takdir Po menjadi pendekar naga ataukah keyakinan dirinya akibat ramalan Oogway yang menjadikannya pendekar naga. tentu saja, saya lebih condong pada kemungkinan kedua. sebab, jika Shifu dan Po sendiri tak yakin bahwa dirinya bisa menjadi pendekar naga, maka ramalan itu hanya akan menjadi kebohongan belaka.
demikianlah cara pikir manusia. seringkali tindakan-tindakannya diliputi sugesti yang bisa membuat dirinya jauh melampaui yang pernah ia bayangkan.
dengan sugesti, tak ada yang tak mungkin. so, tak ada salahnya menyugestikan pikiran bahwa kita hendak menjadi legenda sepanjang masa. sebab, siapa tau justru sugesti itulah yang membuat kita menjadi demikian..

Selasa, 19 Agustus 2008

Biarkan Putra-Putri Anda Mengenali Filosofi Hidup



dua buku ini akan menuntun putra-putri anda memahami filsafat hidup yang ditulis dengan ringan. selamat menikmatinya...

INILAH BUKU-BUKU TERBAIK YANG MUSTI DI BACA PUTRA-PUTRI, KEPONAKAN ATAU PUN KERABAN ANDA YANG LAIN


Buku ini sangat bagus untuk mengembangkan imajinasi putra putri Anda.

Will Smith, Why are U so Sexy???


dari sekian banyak film yang dibintangi will Smith, hancocklah yang paling berbeda. akhir-akhir ini, Will Smith banyak memainkan film-film yang tergolong 'berat'. sebut saja pursuit of happyness, MIB, The Legend. meski beberapa dari film itu bergenre drama ataupun komedi, tetapi tetap saja bisa dibilang berat.
berbeda dari film-film tersebut, Hancock menyajikan tontonan yang lumayan ringan. kisah kepahlawanan Hancock dikemas dengan kocak. lain dari pada film-film hero yang lain, yang menggambarkan sosok pahlawan dengan karakter yang terlalu serius.
bicara tentang hancock, tak lepas bicara tentang will smith sebagai pemain utamanya. di film ini will smith tak perlu berjuang keras untuk mengeluarkan sisi maskulinnya. seragam yang ketat makin menunjukkan tubuh will smith yang berotot dan kekar. tentu saja hal itu makin meneguhkan definisi 'macho' pada lelaki. tapi,bagi saya, bukan tubuh will smith yg berotot yang hendak saya katai seksi.
dalam film action, berotot besar dan berpakaian ketat adalah hal yang biasa. tapi, ada satu adegan yang membuat film si hero tampak berbeda dalam hancock. yaitu saat adegan dimana si hancock tergolek dan menangis ketika berbicara dengan mantan istrinya (Charlize theron).
di saat sisi ke-manusiaan tumbuh itulah will smith benar-benar tampak seksi. patah hati telah membuat tubuh hancock makin menahan sakit. menurut saya, inilah klimaks film dari Hancock. dalam adegan itu, will smith benar-benar nampak berjuang keras menampilkan wajah patah hatinya.
film ini benar-benar unik. hancock bukan jenis pahlawan yang bisa memenangkan segala hal dalam kehidupan. terbukti, untuk urusan cinta ia terpaksa harus mengalah agar dirinya tetap immortal dan jadi hero. tapi yang jadi pertanyaan, karakter hancock yang bagus atau will smith lah yang pintar memerankan hancock ya??? tapi yang pasti, dengan pemeran will smith, hancock nampak seksi....

Elizabeth, Film tentang Pengukuhan Kekuasaan Perempuan



Satu lagi muncul karya yang makin mengukuhkan kemampuan perempuan sebagai sumber kekuasaan. Sebuah film berjudul Elizabeth: The Golden Age, besutan sutradara Shekhar Kapur ini makin membuktikan betapa kemampuan seorang perempuan memimpin sebuah negara adi daya di abad 16. di tangan seorang perawan, Inggris diceritakan telah mampu mengalahkan musuh-musuhnya dengan keteguhan.

Elizabeth (Cate Blanchet) diceritakan sebagai seorang perempuan yang bebas menentukan pilihan-pilihannya sendiri. Termasuk apakah ia hendak menikah atau tidak. Puluhan pria berbondong-bondong meminang ratu Inggris tersebut. Namun, ego Elizabeth mengatakan untuk menolak mereka. Pada bagian inilah yang meruntuhkan anggapan bahwa seorang perempuan adalah makhluk lemah yang bergantung pada perasaannya. Sebab saat itu dengan otak cemerlangnya, Elizabeth mampu menangkap segala maksud pinangan-pinangan yang menghujaninya. Hingga pada satu titik ia jatuh hati pada seorang pria bernama Raleigh(Cliff Owen).

Lantas, apakah kemudian Elizabeth terjebak pada cintanya seperti layaknya film-film naif yang mengisahkan perempuan yang akhirnya terjebak pada cinta? Pada awalnya, Elizabeth terjebak pada perasaannya sendiri. Ia gunakan kekuasaannya untuk memenjarakan Walshingham yang telah menikahi Bess (Abbie Cornish) tanpa persetujuan sang ratu. Namun rasionalitas Elizabeth pada akhirnya mengampuni keduanya. Akal sehat Elizabeth tak mampu mengelak bahwa Inggris membutuhkan Releigh.

Melalui peperangan Inggris terhadap Spayol di lautan, Elizabeth akhirnya memilih jalan hidupnya sebagai perawan yang akan mengabdikan dirinya pada rakyat Inggris. Keputusan ini benar-benar fenomenal di tengah-tengah budaya yang teramat patriarkis. Ia bahkan sempat menjadi lelucon di kalangan raja-raja Eropa atau bahkan sepupunya sendiri.

Elizabeth I membuktikan bahwa bukan gender atau pun jenis kelamin yang menentukan seseorang mampu memimpin atau tidak. Melainkan kecintaannya terhadap rakyat lah yang membuat ia berhasil memenangkan pertarungan melawan musuh-musuhnya dan membawa Inggris pada kegemilangan.

Film ini benar-benar bisa menjadi cermin bagi siapa pun yang masih mempertimbangkan lebih gender atau pun seks dari pada kualitas intelektual saat memilih pemimpin.

Untuk Perempuan

Di sebuah pagi buta saya menyaksikan sebuah siaran ruhani di sebuah stasiun televisi. Seorang perempuan ikut dalam konsultasi interaktif dalam acara tersebut. Ia curhat pada sang sang mama, yang dipanggil mama, mengenai suaminya yang mulai tak menghargai istri. Dan istri tak berani melepas si lelaki karena alasan ekonomi. Kemudian si sang mama bertanya apakah si perempuan memiliki penghasilan sendiri atau tidak. Si perempuan menjawab tidak.

Sang mama berkata bahwa kesalahan pertama seorang ibu rumah tangga adalah dirinya tidak bekerja. Menurutnya perempuan harus bekerja agar posisi tawarnya di mata suami semakin tinggi. Saya tersenyum mendengar jawaban sang mama tersebut. Satu hal yang terlintas di benak saya: “rupanya sulit sekali menjadi perempuan”. Perempuan bekerja dan berkarir baik akan bermasalah karena suami yang iri. Walhasil, rumah tangga yang porak pun menghadirkan perempuan sebagai kambing hitam. Jika perempuan memutuskan untuk tak bekerja, maka harga dirinya diinjak dan dianggap lemah.

Kenyataan itu, menunjukkan betapa seorang perempuan tak bisa bebas memilih dan memutuskan hal yang terbaik bagi dirinya. Keputusan apa pun pada akhirnya menjadi bumerang bagi diri perempuan sendiri. Keputusan perempuan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga semestinya dihargai sebagaimana jika ia memutuskan menjadi wanita karir. Bukan malah menjadi excuse bagi laki-laki atau suami untuk menindas.

Keputusan menjadi seorang ibu rumah tangga tak ada hubungannya dengan kelemahan perempuan. Dan tentu saja, seorang ibu rumah tangga tak berarti bisa diinjak harga dirinya hanya karena ia tak bekerja di sektor publik. Jika saja seorang lelaki bisa berempati mengapa seorang perempuan ingin menjadi ibu rumah tangga, pastilah pikirannya akan semakin terbuka dan akan semakin menghargai posisi perempuan dalam rumah tangga.

Tak ada satu hal pun yang bisa menghalalkan seorang lelaki untuk melakukan kekerasan rumah tangga bagi perempuan. Pernikahan merupakan perjanjian suci yang mustinya dijunjung tinggi dengan segenap kesetiaan. Dalam perjanjian pernikahan manapun, saya kira tak ada prasyarat “perempuan harus menikah agar seorang lelaki berbuat baik padanya”. di agama mana pun, saya sangat yakin, lelaki harus bisa berbuat baik pada pasangannya, walaupun si perempuan menjadi ibu rumah tangga.

Selama ini, pandangan yang terlamapau patriarkis memang telah menempatkan posisi ibu rumah tangga berada pada posisi yang marginal. Bahkan oleh para aktivis feminis sekalipun. Terkadang feminis sendiri menilai profesi ibu rumah tangga merupakan sebuah penindasan dan musti dihindari. Pilihan sebagai ibu rumah tangga sering kali tak dinilai sebagai pilihan yang merdeka yang telah dipilih oleh perempuan.

Para perempuan akan merasa diri terdidik jika bisa berkata “aku ingin jadi politisi, ingin jadi wanita karir, ingin jadi pebisnis perempuan,” saat ditanya tentang cita-cita. Jawaban “ingin jadi ibu rumah tangga” tak ada dalam kamus mereka. Lantas, bagaimana jika ada seorang perempuan cerdas yang dengan lantang menyebut bahwa dirinya ingin jadi ibu rumah tangga? Pertama-tama, dahi akan berkerut.

Konsep ibu rumah tangga sebagai pekerjaan yang kolot telah sukses didoktrikan oleh para patriarkis. Profesi ibu rumah tangga sulit sekali disejajarkan dengan profesi lain yang membutuhkan perempuan bergulat di ranah publik. Pada akhirnya, keputusan menjadi ibu rumah tangga, dianggap sebagai keputusan tak bebas dan kolot. Setiap orang berseru bahwa profesi tersebut hanya dijamah oleh perempuan tak terdidik. Pada akhirnya, para lelaki pun dengan semena-mena memperlakukan pasangan mereka yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Budaya yang teramat patriarkis mendoktrin mereka bahwa ibu rumah tangga adalah profesi yang tak membutuhkan tingkat intelegensi dan intelektualitas yang tinggi.

Ada satu konsep yang musti dipahami di sini. Saat perempuan menjadi ibu rumah tangga, ia mengemban berbagai profesi di pundaknya. Dalam keluarga, ia berperan sebagai manajer keuangan, koki, guru, tabib, manajer pribadi bagi setiap anggota keluarga, sekretaris, psikolog, pelayan seks, dan sebagai pendamping bagi suami. Jika dikalkulasi lagi, seharusnya para lelaki atau pun orang-orang yang berpandangan patriarkis, merasa malu saat mengatakan hanya perempuan bodoh yang pantas menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Sebab, berbagai tugas yang diemban itu membutuhkan tingkat intelegensi dan intelektualitas yang tinggi.

Sudah sepantasnya ada nilai yang bergeser di sini. Jika dulu menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah keharusan, maka sekarang menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan yang tak dapat diremehkan. Sebuah pilihan yang keluar dari pikiran merdeka dan membutuhkan tingkat intelegensi dan intelektualitas yang mencukupi. Sebab, bukan hanya perempuan yang merasakan dampak dari pilihan ini. tapi juga semua anggota keluarga.