Selasa, 19 Agustus 2008

Untuk Perempuan

Di sebuah pagi buta saya menyaksikan sebuah siaran ruhani di sebuah stasiun televisi. Seorang perempuan ikut dalam konsultasi interaktif dalam acara tersebut. Ia curhat pada sang sang mama, yang dipanggil mama, mengenai suaminya yang mulai tak menghargai istri. Dan istri tak berani melepas si lelaki karena alasan ekonomi. Kemudian si sang mama bertanya apakah si perempuan memiliki penghasilan sendiri atau tidak. Si perempuan menjawab tidak.

Sang mama berkata bahwa kesalahan pertama seorang ibu rumah tangga adalah dirinya tidak bekerja. Menurutnya perempuan harus bekerja agar posisi tawarnya di mata suami semakin tinggi. Saya tersenyum mendengar jawaban sang mama tersebut. Satu hal yang terlintas di benak saya: “rupanya sulit sekali menjadi perempuan”. Perempuan bekerja dan berkarir baik akan bermasalah karena suami yang iri. Walhasil, rumah tangga yang porak pun menghadirkan perempuan sebagai kambing hitam. Jika perempuan memutuskan untuk tak bekerja, maka harga dirinya diinjak dan dianggap lemah.

Kenyataan itu, menunjukkan betapa seorang perempuan tak bisa bebas memilih dan memutuskan hal yang terbaik bagi dirinya. Keputusan apa pun pada akhirnya menjadi bumerang bagi diri perempuan sendiri. Keputusan perempuan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga semestinya dihargai sebagaimana jika ia memutuskan menjadi wanita karir. Bukan malah menjadi excuse bagi laki-laki atau suami untuk menindas.

Keputusan menjadi seorang ibu rumah tangga tak ada hubungannya dengan kelemahan perempuan. Dan tentu saja, seorang ibu rumah tangga tak berarti bisa diinjak harga dirinya hanya karena ia tak bekerja di sektor publik. Jika saja seorang lelaki bisa berempati mengapa seorang perempuan ingin menjadi ibu rumah tangga, pastilah pikirannya akan semakin terbuka dan akan semakin menghargai posisi perempuan dalam rumah tangga.

Tak ada satu hal pun yang bisa menghalalkan seorang lelaki untuk melakukan kekerasan rumah tangga bagi perempuan. Pernikahan merupakan perjanjian suci yang mustinya dijunjung tinggi dengan segenap kesetiaan. Dalam perjanjian pernikahan manapun, saya kira tak ada prasyarat “perempuan harus menikah agar seorang lelaki berbuat baik padanya”. di agama mana pun, saya sangat yakin, lelaki harus bisa berbuat baik pada pasangannya, walaupun si perempuan menjadi ibu rumah tangga.

Selama ini, pandangan yang terlamapau patriarkis memang telah menempatkan posisi ibu rumah tangga berada pada posisi yang marginal. Bahkan oleh para aktivis feminis sekalipun. Terkadang feminis sendiri menilai profesi ibu rumah tangga merupakan sebuah penindasan dan musti dihindari. Pilihan sebagai ibu rumah tangga sering kali tak dinilai sebagai pilihan yang merdeka yang telah dipilih oleh perempuan.

Para perempuan akan merasa diri terdidik jika bisa berkata “aku ingin jadi politisi, ingin jadi wanita karir, ingin jadi pebisnis perempuan,” saat ditanya tentang cita-cita. Jawaban “ingin jadi ibu rumah tangga” tak ada dalam kamus mereka. Lantas, bagaimana jika ada seorang perempuan cerdas yang dengan lantang menyebut bahwa dirinya ingin jadi ibu rumah tangga? Pertama-tama, dahi akan berkerut.

Konsep ibu rumah tangga sebagai pekerjaan yang kolot telah sukses didoktrikan oleh para patriarkis. Profesi ibu rumah tangga sulit sekali disejajarkan dengan profesi lain yang membutuhkan perempuan bergulat di ranah publik. Pada akhirnya, keputusan menjadi ibu rumah tangga, dianggap sebagai keputusan tak bebas dan kolot. Setiap orang berseru bahwa profesi tersebut hanya dijamah oleh perempuan tak terdidik. Pada akhirnya, para lelaki pun dengan semena-mena memperlakukan pasangan mereka yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Budaya yang teramat patriarkis mendoktrin mereka bahwa ibu rumah tangga adalah profesi yang tak membutuhkan tingkat intelegensi dan intelektualitas yang tinggi.

Ada satu konsep yang musti dipahami di sini. Saat perempuan menjadi ibu rumah tangga, ia mengemban berbagai profesi di pundaknya. Dalam keluarga, ia berperan sebagai manajer keuangan, koki, guru, tabib, manajer pribadi bagi setiap anggota keluarga, sekretaris, psikolog, pelayan seks, dan sebagai pendamping bagi suami. Jika dikalkulasi lagi, seharusnya para lelaki atau pun orang-orang yang berpandangan patriarkis, merasa malu saat mengatakan hanya perempuan bodoh yang pantas menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Sebab, berbagai tugas yang diemban itu membutuhkan tingkat intelegensi dan intelektualitas yang tinggi.

Sudah sepantasnya ada nilai yang bergeser di sini. Jika dulu menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah keharusan, maka sekarang menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan yang tak dapat diremehkan. Sebuah pilihan yang keluar dari pikiran merdeka dan membutuhkan tingkat intelegensi dan intelektualitas yang mencukupi. Sebab, bukan hanya perempuan yang merasakan dampak dari pilihan ini. tapi juga semua anggota keluarga.

Tidak ada komentar: